Rabu, September 14, 2011

Cerpenº°˚★♪☆♫❀♪❤

 
APA CUMA ITU,
 HEBATNYA NGEBAND????

            NgeBand?? itu udah hoby semua remaja sekarang. Tapi pernah ngebayangin gak kalau ngeband itu bukan kesenangan bermain alat musik semata. Tapi ngeband juga pernah bikin aku kecewa. Mungkin kalian yang suka ngeband, pasti yang ada yaitu kesenangan kumpul teman-teman personil dan bermain alat musik. Itu semua memang aku alami. Tapi ada satu hal yang juga aku alami di tengah-tengah kegembiraanku kumpul bersama teman – teman personil dan memainkan musik. Itu bukan ‘Hebatnya ngeband’ buat aku. Ngeband yang paling hebat buat aku itu, pas aku tampil memainkan alat musik di atas panggung dan melihat penonton semua. Tapi, penonton itu bukan penonton biasa. Penonton itu adalah keluarga aku sendiri yang senantiasa datang dan berbaur dengan penonton-penonton lainnya. Gembira dan rasa ingin tampil lebih baik, muncul di diriku. Itu semua merupakan ‘support’ yang tersirat dari keluarga untukku. Itu udah aku alami berkali-kali selama aku tampil di atas panggung. Tapi, ada satu hal, ngeband yang menurutku bukan kehebatan dari permainan musikku di atas panggung. Ini yang sangat buat aku kecewa. Setiap aku ingat akan hal ini, rasanya aku ingin ulang waktu dan menjalani hari itu lagi dengan sikap aku sebagai ‘Kilau’.

            Sekolahku diundang oleh SMA Katolik Santo Paulus di Kota Jember untuk mengikuti Festival Lagu 70-an. Beruntungnya aku salah satu guitarist yang ditunjuk untuk mengikuti Festival itu. Setiap hari, setiap pulang sekolah, setiap sore, bahkan aku tidak tahu waktu untuk latihan. Setelah lagu yang akan dipersembahkan rampung, aku tinggal menyiapkan apa saja yang harus dibawa di Jember nanti.

            Hari ini tepatnya hari Minggu pagi dimana aku bersiap-siap untuk berangkat ke Jember untuk acara yang aku sudah lama tunggu-tunggu. Dari rumah, Bapak, Ibu, dan Kakakku sudah rapi dengan pakaiannya. Ibu bilang, mereka akan ke Surabaya. Aku tidak mungkin ikut karena aku harus ikut Festival. Jam 8 pagi aku sudah sampai di sekolah berkumpul untuk berangkat ke Jember.
Sambil menunggu mobil yang akan membawa aku dan teman-teman ke Jember datang, Guru pembimbingku mengumpulkan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam formulir.
“Ayo ngisi formulirnya dulu dah sambil nunggu mobilnya datang.” Ucap Guru pembimbingku. Tapi, aku ternyata lupa membawa Kartu Pelajarku. Aku menelpon ibu untuk mengantarkannya
“Ibu di mana? Kartu pelajarku ketinggalan di meja depan tv”.
“Ya apa kok bisa ketinggalan. Sudah dikasih tahu jangan sampai ada yang ketinggalan apalagi kepentingan buat tampil. Ya sudah, sebentar lagi ketemu di Pertigaan.”Jawab Ibu.
Belum berangkat, aku sudah bingung dengan Kartu pelajar.

            Perjalanan ke Jemberpun dimulai. Tapi, perasaanku berbeda. Ibu menanyai kabarku terus selama perjalanan.
“Kilau sudah sampai di mana? Ibu sekarang sama Kakak dan Bapak makan Bakso di Bakso Probolinggo”Tanya Ibu dan tampaknya pamer kesenangan kepadaku.
Memang merasa kecewa mendengar mereka berkumpul bersama, sementara aku tidak ikut. Tapi dalam perjalanan, aku sering melihat mobil merah yang selalu aku pikir bahwa mobil itu adalah Bapak, Ibu, dan Kakak. Aku menelpon Ibu terus Karena penasaran mereka sebenarnya ada di mana.
“Ibu di mana? Aku kelihatan mobil merah dari tadi. Ibu ya?”
Tapi jawaban Ibu tetap, mereka ada di Bakso Probolinggo. 50% percaya,50% tidak percaya. Setiap aku melihat ke belakang mobil rombonganku, pasti terlihat mobil Merah yang aku yakin sekali itu adalah Bapak, Ibu dan Kakakku.

Sesampainya di Kota Jember, rombonganku ditunggu Ibu Guru di rumahnya yang bertepatan di Jember. Disitulah aku tidak melihat mobil merah itu lagi. Aku pikir mobil merah itu bukan keluargaku atau mereka kesasar.
”Ini sudah datang. Kok lama. Bu Guru nunggu daritadi kok ndak datang-datang. Bu Guru pikir ndak kesasar.” Sambut Bu Guru kepada aku dan rombongan lainnya.
“Iya bu, tadi hujan soalnya. Jadi Pak Guru nyetirnya hati-hati.” Jawab salah satu temanku.
“Oh, iya sudah ayo masuk. Makan siang dulu. Itu sudah daritadi siap. Sampi dingin sayurnya. Ayo masuk semua dah” Ajak Bu Guru kepada kami semua.
Mungkin wajah aku dan yang lainnya terlalu lelah selama perjalanan tadi. Karena Probolinggo-Jember cukup jauh. Di rumah Ibu Guru, aku dan teman-teman makan siang, istirahat sebentar, kemudian mandi, dan bersiap-siap menuju ke tempat Festival. Aku dan teman-teman sibuk menyiapkan masing-masing keperluannya nanti di panggung.
Sampai di SMA Katolik Santo Paulus, aku dan teman-teman bercanda ria dan sempat berbelanja ria di salah satu Hyper Market di dekat sana.
“Eh, beli sisir yok? Rambutku ndak rapi.”
“Ayo, tapi jangan yang itu. Itu terlalu mahal.”
Teman-temanku sibuk menyiapkan penampilannya. Ada juga yang doyan ‘Jajan’.
“Pak, beli minum ya. Haus.”
“Ya ngambil cepetan dah.”
“Pak jam berapa tampilnya?”
Itu semua bacotan teman-temanku selama pra-acara.
           
Sewaktu aku kembali ke tempat Festival lagi, Bapak, Ibu, dan Kakakku muncul dengan senyuman bahagia dari belakangku.
“Itu Kilau.”
Ucap kakaku dengan wajah bangga.
Tapi apa yang aku balas atas senyuman mereka, aku menangis dan merasa kecewa.
“Lho, kok nangis?”Tanya kakakku sambil heran dan kecewa.
“Ayo wes pulang saja. Kilau ndak menghargai kita.” Ucap Ibu yang tidak sengaja aku dengar dan aku tetap menangis. Mereka langsung kembali pulang karena aku menangis. Aku sangat kecewa mereka sudah berbohong. Aku tidak paham atas sikap aku ini. Sepertinya aku hilang kendali. Ini bukan “Kilau” yang biasanya. Itu adalah Kilau yang bukan anak dari Bapak dan Ibu. Di situ aku tidak berpikir kalau mereka adalah keluargaku. Mereka menganggap tangisan aku adalah rasa ketidak inginan adanya kehadiran mereka dalam penampilanku dalam Festival itu. Aku sadar kalau ‘Kebohongan’ ibu tadi adalah untuk membuat kejutan untuk anaknya. Aku sangat bangga pada mereka. Kebahagiaan yang tidak pernah bisa aku gadaikan dengan apapun adalah berkumpul keluarga dan ucapan-ucapan mereka. Begitu membahagiakan hari-hariku dengan keluarga. Tapi aku kecewa mereka langsung pulang. Aku tidak pernah menyangka akan terjadi hal seperti ini selama hidupku. Ibu marah kepadaku karena aku menangis dan tidak menginginkan kehadiran mereka. Padahal mereka adalah keluargaku. Aku terus menangis karena sangat kecewa mereka tidak menunggu penampilanku.
Aku langsung menelpon Ibu.
“Ibu boleh kembali ke sini bu. Lihat aku main. Aku minta maaf. Aku takut dibilang anak mami.”
Ucapku sambil rasa sangat kecewa aku. Sampai pulsaku habis, dan Bapak Guru meminjamkan hp-nya ke aku untuk menelpon Ibu lagi. Tapi, percuma. Ibu sangat marah.
Ibu bilang“Kilau sudah durhaka sama orangtua. Bapak sama Ibu kecewa ke Kilau.”
Mulai detik itu aku tidak menghabiskan waktuku dengan teman-teman lagi. Yang kulakukan hanya menangis kecewa atas sikap aku dan aku terus menelpon Ibu. Bapak, dan Kakak. Tapi itu semua percuma. Yang ada, hanya terpikirkan akan kehadiran mereka di acara itu dengan senyuman mereka melihat aku yang tampil di panggung nanti karena dorongan dari mereka semua aku bisa sukses.  Ini adalah kesalahan dan ‘Moment’ terbesarku selama hidup, yang sangat-sangat aku katakan DOSA karena ngeband. Setiap aku ingat hal ini, ingin rasanya menghapusnya dari ingatanku. Kakakku terus sms ke hp-ku, menyalahkan aku.
“Cuma karena ngeband kamu begitu ke keluarga.”
Hanya hal ini yang sangat mengecewakan hidupku.

            Sampai tiba waktuku untuk bersiap-siap tampil.
            “Ayo ki, senyum. Kita sebentar lagi tampil. Cuci muka ayo. Biar wajahmu ndak susah.”
            “Ki siap-siap ya.”
            “Semangat. Ini penampilan pertama kita di sekolah orang apalagi di luar kota.”
            “Ingat-ingat lagi, biar ndak ada yang salah nanti waktu di panggung.”
            “Nanti jangan lupa ambil gambarnya ya Pak pas kita tampil.”
            “Nanti juga bantu saya pas ngatur cek soundya ya pak.”
            Itu semua bacotan mereka saat bersiap-siap tampil sambil menghiburku.
Penampilanku sukses dengan dukungan rekan bandku. Sempat di atas panggung aku membayangkan hadirnya Bapak, Ibu, dan Kakak ada di sela-sela penonton yang menikmati lagu. Tapi itu mustahil. Aku tampil dengan mata sedikit bengkak, dan air mata yang tertahan karena memikirkan hadirnya mereka. Tampil di Festival itu adalah hal yang sangat membagakan untukku. Diundang untuk tampil di sebuah Festival di luar kota. Tapi ngeband itu tidak berarti apa-apa untukku. Walaupun mendapat banyak hal yang membanggakan. Disambut baik karena dari luar kota, disambut baik karena Perempuan, disambut baik karena aransemennya cukup lucu, dan disambut baik karena penampilannya sukses di atas panggung.
 “Ingin tampil lagi rasanya.”ucap kebahagiaan temanku.
“Ayo tampil lagi ayo!”ucap temanku yang lain.
 “Sudah tidak boleh pasti.”
Mereka berbincang-bincang bersahut-sahutan dengan rasa bangga.
Mereka membicarakan hal-hal lucu selama tampil di atas panggung.
“Eh tadi ya suaraku sedikit serak. Untung melody-nya langsung bunyi. Jadi tidak terlalu terdengar suara serakku tadi.
“Tadi kamu juga salah grib ya. Aku tadi bingung lihat kamu.”
“Tadi kursi drum-nya juga miring. Aku tadi ndak nyaman ngedrum-nya.”
“Tapi seru ya lihat penonton tadi.”
Teman-teman semua bangga atas itu semua. Aku hanya bisa tersenyum dengan pikiran tertuju ke keluargaku. Kami pulang membawa Piagam. Sangat terhormat kita di sana. Penampilannyapun cukup hebat. Tapi tidak untuk hidup sepanjang sejarahku. Rasa kecewa atas keluargaku tidak bisa terobati karena hebatnya ngeband waktu itu. Apalagi suksesnya aku bermain gitar sampai sekarang tidak bisa mengobatinya. Karena sampai kapanpun tidak akan pernah bisa terobati oleh aapapun. Itu akan terus ada dalam perjalanan kesalahan terbesarku. Karena hidupku sepenuhnya untuk keluarga. Tidak ada yang bisa menggadaikan kebersamaan keluarga. Aku rela mengorbankan apapun demi keluarga. Maka dari itu, ngeband sangat berarti dan sungguh hebat buat aku dengan adanya support dari keluargaku. Aku sangat menyayangkan keadaan itu. Seringkali aku berhayal akan kejadian itu tapi dengan hal yang lebih positif. Bapak, Ibu, dan Kakak ada di saat aku manggung di sana, dan ingin terjadi kebersamaan keluargaku biasanya di tempat itu dan di Moment itu juga.  Pikiranku langsung mendidih jika ingat bahwa di saat itu, Bapakku ternyata membawakan baju bergambar gitar yang dibelinya sebagai hadiah karena aku bisa sukses sampai luar kota. Keluargaku menyempatkan beli baju itu di Ramayana ketika aku sedang berada di rumah Ibu Guruku. Sangat berdosanya aku? Dimulai sejak awal, sikapku sama sekali tidak bermakna.
Setelah tampil di atas panggung, aku dan yang lainnya menunggu acara usai. Jam setengah 11 malam rombonganku kembali ke Probolinggo.
           
Alhamdulillah, jam 1 pagi aku sampai di rumah  dari Jember. Di situ Ibu, Bapak, Kakak, menyalahkan aku, marah, kecewa, dan tidak peduli lagi kepadaku. Pada waktu jam 1 itu pula aku dinasehati oleh orangtuaku. Bapak bilang
“Kilau sudah mengecewakan Bapak sama Ibu. Kenapa Kilau kok bersikap seperti itu tadi?”
Aku hanya menunduk diam dan menangis. Meratapi kesalahan besar yang telah aku lakukan. Sempat aku tidak diijinkan lagi masuk ke dunia musik oleh Ibu.
“Mulai sekarang Kilau tidak boleh ikut ekstrakurikuler apapun. Terutama Musik. Percuma kamu bermain music kalau seperti ini.”
Kurang lebih 1bulan aku mematuhi larangan Ibu. Tapi lama kelamaan hati keluargaku luluh, dan perlahan-lahan aku aktif lagi di dunia musik. Itulah hebatnya ngeband untukku. Bukan hanya permainan kita dipanggung dan kebahagiaan kita bersama personil. Tapi peran keluarga sangat penting dalam kehidupan musikku. Bapak adalah sosok yang memotivasi aku untuk mandiri dalam bermusik dengan terus melatih aku bermain musik. Ibu adalah sosok yang menilai aku dalam bermusik dengan komentar-komentarnya. Dan Kakak adalah sosok yang membantu aku dalam memainkan musik dengan terus mengajariku bermain gitar. Mereka adalah Hebat. J






COPYRIGHT :
KHILAU GEMILANG PUTRI
09:42 PM
MARCH, 30TH 2011






●▬▬✿ ªķΰ Ƙϊƪa̲̅ΰ ✿▬▬●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

comment please, (✿◠‿◠)